Sabtu,
17 Oktober 2015
Sudah
hampir satu tahun saya menjajakan diri ini di Ibu Kota Propinsi Jawa Barat, yap
apa lagi kalo bukan Kota Priangan, Paris
Van Java, Kota Kembang, yang dulu pernah menjadi lautan api namun sekarang
banyak digandrungi oleh para pendatang dari berbagai penjuru indonesia dan
manca negara. Lain halnya dengan kebanyakan orang yang mencari kesenangan atau
berbisnis di kota fashion ini, saya bertahan sampai sejauh ini tidak lain dan
tidak bukan adalah karena saya ingin menyelesaikan lajutan studi saya, ya… sekolah
PAKSA SARJANA, sudah sarjana tapi tetep aja dipaksa untuk sekolah lagi. Kendati
demikian, saya melakukan hal ini karena memang ada maksud yang ingin saya capai
disamping tentunya ingin membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua saya.
Pertama-tama
saya mohon izin terlebihdahulu sama yang punya kawasan karena akan sedikit
bergosip tentang daerah kekuasaannya, siapa lagi kalo bukan Pa Wali RK alias
Ridwan Kamil atau akrab disebut Kang Emil, mungkin ini tidak akan pernah
terbaca oleh beliau namun secara totokromo ini sudah menjadi suatu keharusan,
sebenernya ada hal yang membuat saya penasaran tentang Kang Emil, ingin rasanya
berjumpa mengobrol Heart to Heart, tanpa
ada media, tanpa ada siapapun, hanya saya akang emil dan juga seperangkat
peralatan yang tergeletak disekitar, hehe… tapi sudahlah topik utama pembahasan
dalam karangan indah kali ini bukan tentang itu, lagipula ini tidak akan pernah
terbaca oleh Pa Wali, dan siapa juga saya lancang berani bilang pengen ngobrol Heart to Heart sama tokoh ternama,
hahaha…
Kedua-dua
(tadi kan pertama-tama), saya juga banyak menghaturkan banyak terimakasih yang
sedalam-dalamnya sedalam lubuk hati saya yang paling dalam (udah dalam yang
paling dalam lagi), alhamdulillah saya pribadi jauh merasa nyaman dan tentram hati
terkait keadaan kota bandung ini, yang semula saya justru parno ketika
mendengar Kota Bandung, yang terlintas di pikiran saya yaitu panas, penat,
macet, stress, gerah, ga aman dan
kawan-kawannya. Pada mulanya memang iya dan sempat depresi ringan, namun
seiring dengan berjalannya waktu, Bandung kini terasa seperti rumah kedua bagi
saya, seakan saya memiliki keluarga yang lain selain keluarga saya yang tinggal
di kampung sana, saya mulai betah dan yang terpenting alhamdulillah saya masih
hidup sampai sekarang serta selalu diberi nikmat kehidupan yang semakin hari
semakin bertambah.
Oke,
masuk ke topik inti… udahan ah ngaler-ngidulnya,
ntar yang baca pada bete (itu juga kalo ada yang baca, kalo ga ada? Yaa gapapa,
its just about my hobby).
Sudah
disinggung sedikit diatas bahwa saya pernah parno
sama yang namanya Bandung, dan dalam pikiran saya dulu Bandung adalah hantu
yang menakutkan (lebih menakutkan dari hantu Flyng Dutcman atau hassliningslasheer
di acara kartun SpongeBob), namun tidak dapat dipungkiri bahwa saya pada
akhirnya harus menempa pendidikan di Kota Priangan ini. Saya adalah seorang
mahasiswa smester 3 (semoga smester akhir, minta doanya) program pascasarjana
salah satu Universitas Pendidikan ternama di Bandung. Prespektif negatif
tentang Bandung yang saya punya DULU (dulu loh, dulu, diperjelas lagi takut ga
kebaca) membuat saya tidak betah bahkan ketika saya belum mencoba masuk dan
hidup berkecimpung sekalipun didalamnya, ini bukan tentang Bandungnya namun
keadaanya (yang sekarang sudah berubah drastis) yang membuat saya memiliki
stigma seperti itu. Tanpa sadar, saya mengeluarkan kata-kata secara sepontan
yang kalo tidak salah seperti ini “Sudah
saya bilang dari dulu, bahwa saya tidak pernah betah untuk berada di lingkungan
ini”, selain memang ada faktor lain juga terkait kondisional atmosfir
kehidupan kampus, yang saya tidak akan pernah bahas sekarang, nanti saja kalo
saya sudah wisuda.
Memang
mungkin sepertinya tersugesti dari persepsi bawaan, sehingga saya tidak pernah
merasa betah di lingkungan kampus, ada saja hal membuat saya berfikiran negatif
walau pada kenyataanya itu hal yang biasa-biasa saja. Padahal jika dilihat dari
fasilitas yang serba memadai, bangunan megah, taman-taman yang cukup luas, idah
untuk merefresh diri, ditambah lagi
tenaga pendidik yang memang sangat bijak dalam menyampaikan pandangan hidup
dalam perkuliahan (meski hanya beberapa), tapi hal-hal tersebut harusnya saya
syukuri dan saya sangat kurang ajar jika sampai saat ini saya tidak
berterimakasih kepada mereka-mereka dan beliau-beliau yang telah senantiasa berbagi
waktu dan pikiran kepada saya. Namun hal tersebut tidak membuat saya berubah
persepsi bahwa “Sudah saya bilang dari
dulu, bahwa saya tidak pernah betah untuk berada di lingkungan ini”,
imbasnya saya selalu perang batin walau memang fisik dan ekspresi selalu ceria.
Hal itu juga yang menjadi alasan kuat kenapa saya ingin cepat membereskan studi
saya ini dan setelah itu dalam benak saya ingin rasanya segera langsung kembali
ke habitat saya.
Sampai
tiba saatnya saya pada situasi yang saya hadapi sekarang, saya seakan jengah
dan menghadapi hal yang saya juga tidak tau apa yang mejadi penyebabnya,
jangankan penyebabnya hal yang dimaksudpun saya tidak tau, hal apa itu. Sesuatu
seakan mengganjal pada hati saya, saya telah coba untuk mengobatinya dengan
berbagai cara dengan sharing, menangani layanan konsultasi (itu memang hobi),
mengerajakan tugas dengan segera, memaksimalkan kinerja pada karya tulis, namun
itu tidak membuat keadaanjauh lebih baik. Curhat sama orang tua dan juga
tentunya kepada sang pencipta, namun saya belum juga mendapat titik temu akan
hal yang sedang saya hadapi ini. Saya yakin, didepan mata saya telah terbentang
luas penyelesaian dari hal yang saya hadapi ini, yang telah disediakan tuhan,
sayangnya saya mungkin belum menyadarinya juga. Efek yang ditimbulkan dari hal
ini menjadi badmood dan tidak
bergairah untuk mengerjakan hal apapun, meski saya mengerjakan hal paling saya
sukai sekalipun dan meski yang saya kerjakan mendapatkan hasil memuaskan dan
mendapat banyak pujian, namun saya tidak merasakan kesenangan sedikitpun, tidak
pula sedih, hanya datar saja, seakan ada yang mengganjal namun tidak tau apa.
Hingga
saat ini, saya menulis pada sehelai kertas hologram ini, saya belum mengerti
tentang kegundahan yang mengganjal hati ini. Mungkin, saya memiliki kesalahan yang
teramat pada seseorang yang membuat hatinya terluka, atau memiliki hutang yang
belum terbayar yang saya tidak ingat terhadap hal itu, jika memang benar semoga
segera diingatkan dan ada yang mengingatkan agar saya bisa langsung melakukan
hal yang seharusnya dilakukan, jika hutang dibayar jika ada yang tersakiti
berusaha untuk mengobati.
Memang
tidak pengaruh yang signifikan terhadap hal yang saya lakukan, malah sangat membantu
karena dalam melakukan suatu hal menjadi lebih maksimal, dan tidak mengharapkan
imbalan walau hanya sekedar pujian. Namun, yang saya khawatirkan adalah ketika
ini semakin lama maka keadaan cuek saya
semakin menjadi dan pada akhirnya saya tidak sama sekali peduli dengan keadaan
lingkungan sekitar. Itulah sebabnya diawal tadi saya singgung ingin bermimpi
untuk berbicara Heart to Heart dengan
bapa wali, hahaha.. tapi sudahlah itu hanya mimpi kok, gapapa kan bermimpi
disiang bolong? Tidak akan gila dan tidak bayar pula yang penting tidak
berharap.
Sempat
terbesit dalam benak, keadaan yang seperti ini yang flat yang dirasa begini-begini aja apakah ini bagian dari ilmu padi
yang ketika “semakin berisi semakin
merunduk” atau saya yang justru tidak berkembang ditengah-tengah
perkembangan pesat ini? sampai saat ini saya masih tanda tanya akan hal itu. Mungkin
benar, saya membutuhkan pandangan-pandangan baru, dari orang-orang baru yang
belum saya jumpai sebelumnya, bersyukur sekali jika hal itu langsung dari orang
hebat yang memang telah Learning by
Doing, degan sejuta pengalaman, sehingga menghasilkan paradigma baru dalam
benak saya. Mungkin, saya haus akan pengalaman orang lain, saya jenuh karena
saya tidak mendapatkan lagi masukan hal-hal yang memang baru dalam hidup saya,
mungkin saya stuck pada keadaan ini karena
saya mungkin “BUTUH TEMEN NGOBROL”.
Mungkin…
Iya,
Masih Mungkin…
Hanya
itu saja sih sebenarnya alasan saya mengetik panjang lebar pada naskah ini,
sangat simple dan mungkin ga penting juga, tapi terlepas dari itu ini bukan
tentang ada yang membaca atau tidak, ini tentang hobi yang sedang disalurkan. Karena,
menulis adalah sebuah media yang dapat dituangkan dengan berjuta pengalaman ketika
pikiran tak lagi dapat mengingat hal yang telah lama berlalu.
Akhir
kata, Teringat sebuah kalimat mutiara nasihat dari seorang ayahanda kepada
anaknya…
“Wahai Anakku, Bermusyawarahlah
dengan Orang yang Berpengalaman, Karena ia Memberimu dari Pendapatnya Sesuatu
yang Diperolehnya dengan Mahal, Sedangkan Engkau Mengambilnya Secara Cuma-cuma”
-Luqman
Al Hakim-
0 komentar:
Posting Komentar