Rabu, 2 Januari 2013
Sudah menjadi hal yang lumrah
tentunya jika pada suatu kelompok masyarakat memiliki karakter yang berbeda.
Karakteristik yang dimiliki perorangannya menjadi suatu ciri khas yang dapat
membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Misalnya saja, pada
suatu kelompok tentunya terdapat pemimpin yang diiringi oleh para pengikutnya.
Karakteristik seorang pemimpin tentunya sudah dapat ditebak, ia mempunyai sifat
yang dominan diantara yang lainnya, memiliki jiwa kepemimpinan, selalu optimis
dalam memperjuangkan sesuatu yang menjadi tujuannya, mempunyai pandangan
positif ke arah masa depan, dan tentunya mempunyai kepiawaian atau keahlian
mengorganisir susunan anggotanya. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan dari sosok seorang pemimpin memiliki kharisma
yang tinggi, walau tidak semuan pemimpin memilikinya. Namun lain halnya ketika
kita membicarakan anggota yang dipimpin oleh sang pemimpin tersebut, berbagai macam
karakter atau sifat dapat kita temukan, mulai dari yang selalu antusias dalam
menjalani hidupnya sampai kepada karakter yang memang selalu pesimis dan seakan
putus asa untuk menyambung kehidupannya.
Dalam dunia psikologi,
pembagian tempramen manusia secara umum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu tipe Ekstrovert dan Introvert. Tipe Ekstrovert menurut
Jung (dalam Hall dan Lindzey) adalah kepribadian yang dipengeruhi oleh dunia
objektif, orientasinya terutama tertuju keluar. Pikiran, perasaan serta
tindakannya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan. Orang-orang dengan tipe
ekstrovert ini cenderung memiliki sifat periang, gembira dan senang berbicara,
selalu optimis dalam bertindak dan berani mengambil resiko dari apa yang telah
ia perbuat. Dari pejelasan berikut, sudah dapat disimpulkan bukan bahwa sosok
seorang pemimpin yang apabila dilihat dari cara berfikir serta sifat yang
dimilikinya, tentu masuk kedalam kategori tempramen manusia yang bersifat
Ekstrovert. Sedangkan Introvert adalah
kebalikan dari Ekstrovert, yaitu kepribadian yang memiliki orientasi ke dalam
dan lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif. Biasanya orang yang termasuk
kedalam tipe introvert ini adalah orang-orang dengan sifat pendiam, suka
menyendiri, termenung dan menghindari resiko. Sifat seperti inilah yang kerap
kali dijumpai pada kebanyakan masyarakat, memang mereka dengan tipe seperti ini
tidak menonjolkan keberadaannya, namun tidak sedikit dari lapisan masyarakat
yang memiliki tipe Introvert ini, tidak menutup kemungkinan juga usia kalangan
generasi muda.
Sungguh sangat disayangkan
ketika generasi muda yang seharusnya membangun bangsa dengan semangat yang
dimilikinya, namun pada realitanya mereka malah takut dan memilih diam hanya
karena untuk mencari aman, tidak mau ambil resiko. Jika mereka terus menerus
seperti ini, siapa yang akan meneruskan perjuangan leluhur kita? Siapa yang
akan menjunjung tinggi negara indonesia kelak?!
Kejadian atau tragedi
seperti diatas sering dilihat terutama pada kaum muda usia puber, yah tepatnya
saat mereka menginjakan sekolah di bangku SMA, walau tidak menutup kemungkinan
adik-adik mereka yang menginjakkan sekolahnya dibangku SMP juga tentu mengalami
hal yang sama, namun itu masih dapat dimaklum karena mereka belum memiliki
dasar pemikiran yang kuat dan tingkat kedewasaan yang masih cenderung masih rendah.
Maraknya terjadi pemikiran negatif atau yang lebih sering dikenal akrab dengan
sebutan Positif Thinking itu
sebenarnya sangat berbahaya dan sangat mempengaruhi motivasi seseorang untuk
menjadikan dirinya lebih berkualitas. Seseorang ketika hidupnya selalu dipenuhi
dengan pemikiran negatif dalam benaknya tentu akan melahirkan ketakutan pada
dirinya dan enggan untuk mengeksplor sesuatu yang baru (dikarenakan ketakutan),
jika tidak mendapatkan pertolongan atau motivasi yang dapat mengubah paradigma
semua ketakutan ini akan berujung pada keterpurukan dan penyesalanlah yang
kelak akan menemani sisa hidupnya. Korban akan selalu merasa dirinya semakin
bersalah kenapa dulu ia selalu merasa takut dan enggan untuk mencoba hal-hal
yang baru, dan ujung dari kisah pilu ini akan berakhir di Depresi.
Penyebab utama pikiran
negatif itu tidak lain adalah bermula dari kebiasaan orang tua yang menakut
nakuti anaknya ketika kecil, memarahi anaknya ketika hendak mengeksplor
sesuatu, dan mengekang anaknya dalam hal bergaul, broken home juga bisa menjadi salah satu awal mula seseorang
memiliki fikiran negatif. Karena terbiasa dengan selalu dibumbui ketakutan akan
orang tua nya baik itu ketakutan akan kemarahan orang tua atau karena asumsi
buruk yang diberikan orang tua sehingga mengakibatkan enggan untuk mencari
sesuatu yang baru karena alasan takut. Dalam pikirannya hanyalah tertuang rasa
takut yang diiringi pikiran negatif, seperti pemikiran tetang reksiko dari
sesuatu yang akan diperbuatnya yang terlalu besar, kadang kala pikiran
negatifnya itu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan rasa takut yang luar biasa
dalam jiwanya. Jika dibiarkan terus menerus, akan berbahaya bagi mentalnya dan
ia akan terpuruk oleh masa lalu, tidak sedikitpun berminat untuk menatap masa
depan.
Adapun realita kehidupan
yang dapat kita ambil sebagai contoh:
Seorang anak terlahir dari
keluarga yang cukup berkecukupan bahkan bisa dikatakan kaya. Dia dibesarkan
oleh didikan orang tuanya yang over
protektif, sehingga ia selalu dilarang dan dimarahi ketika ia akan
melakukan sesuatu, dengan alasan karena orang tuanya takut terjadi sesuatu
terhadap anaknya. Disamping itu orang tuanya selalu menakut-nakuti anak
tersebut dengan hal yang tidak diinginkah, sehingga dalam benak anak tersebut
tertanam rasa takut. Mulanya mungkin hanya sedikit dan anak juga tidak begitu
merespon akan hal yang dikatakan oleh orang tuanya, namun lambat laun orang
tuanya selalu mengulangi hal itu, sehingga dalam benak anak semakin tertanam
rasa takut, entah itu takut dimarahi entah takut pada hal yang telah disebutkan
oleh orang tuanya. Akibat yang ditimbulkannya, anak tersebut enggan untuk
mencoba bermain dengan anak-anak di lingkungan sekitar tempat tinggalnya karena
alasan “takut”, bahkan ketika
disekolahpun anak tersebut enggan untuk aktif dalam pembelajaran dengan alasan “takut salah”. Masih banyak lagi hal
lainnya yang terjadi, misal dalam pengerjaan PR anak tersebut tidak bisa
mengerjakannya secara mandiri karena dengan alasan yang sama yaitu “takut salah, dan takut dapet niali jelek
terus dimarahi orang tua”.
Lihatlah, sedikit saja
kesalahfahaman dalam mendidik anak diwaktu kecil, dapat menrusak masa depannya
yang begitu cerah, walau terkadang hal itu dilakukan karena rasa sayang yang
begitu besar kepada anak, namun sebagian besar anak menaggapinya dengan
berbeda. Oleh karena itu sangatlah dibutuhkan pemahaman psikologi anak, pada
saat mendidik anak, terutama mendidik anak usia “Golden Age”. Contoh diatas hanyalah sebagian kecil dari realita
yang kian marak terjadi di sekitar kita, semoga dapat menyadarkan orang tua
dalam mendidik anak, serta dapat mengubah paradigma anak sehingga hidup mereka
tidak berakhir pada keterpurukan.
”Memarahi bukanlah cara tepat untuk
mendidik anak, anak bukanlah tempat pelampiasan dan masa depan anak bukanlah
lilin mainan yang ketika telah terbentuk dapat diubah kembali dengan mudah”.
0 komentar:
Posting Komentar