Rabu, 2 April 2014
Ayah.. ibu…
Aku tau aku telah
usai menempuh studi strata satu ku..
Namun, hampir
selama satu tahun ini pula aku belum jua dapatkan kerja..
Orang bilang,
memang suatu momok bagi seorang sarjana jika belum bekerja..
Apalagi dalam
lingkup yang masih kampungan seperti desa ini..
Tempat tinggal
ini,
Tempat ini,
Disini, dimana aku
dididik, dibina, diarahkan dan dibesarkan oleh kasih sayangmu..
Satu pekan, dua
pekan aku lewati..
Jujur, pertama aku
mengalami hal itu, aku teramat malu, sedih dan bingung..
Dalam benak aku
berfikir,
Apakah aku anak
tak berguna???
Apakah perjuanganku
dan dukungan mereka sia-sia sampai disini saja?
Aku takut, aku
malu..
Aku malu ketika
orang tua ku disambut dengan pertanyaan,
“anaknya udah
sarjana yah? Kerja dimana?”
Sambil
mengerenyitkan dahi dalam benak ini terlitas asumsi,
Bahwa hidup ini
kejam, tuhan itu tak adil..
Sampai suatu saat
aku bertanya pada ibuku..
Ibu,,,
Apakah hidup itu
sesulit ini???
Ketika mereka yang
tak layak tertawa lantang dikursi sipilnya..
Sementara aku
disini, didera perih, pilu dan malu..
Ataukan aku yang
tak berguna kah???
Seperti itulah
paradigma pemikiran dangkal ku beberapa pekan..
Sampai suatu saat
aku dipertemukan dengan sebuah buku..
Catatan sederhana
yang menyadarkanku, dari kekeliruan hidup..
Bahwa aku adalah
orang yang beruntung,
Bahwa aku adalah
satu dari ribuan orang,
Bahwa aku adalah
satu yang menyadari,
Tentang arti
sederhana dari kebersamaan…
Kini aku yakin,
bahwa aku disini, selalu ada disismu, ibu..
Tidaklah sia-sia,
tidaklah membuatmu malu..
Sebab, kapan lagi
aku memiliki waktu bersama denganmu?
Saat kelak nanti
telah disibukan oleh hiruk pikuk pekerjaan..
Saat kelak telah
disemrawutkan oleh urusan pendidikan..
Saat nanti,
mungkin jarak kembali memisahkan kita..
Namun disisi lain,
umur mu semakin bertambah tak henti,
Badanmu semakin
tua, dan renta..
Memang dulu, dari
semenjak aku dilahirkan,
Aku selalu
habiskan waktu denganmu..
Tapi, itu adalah
saat dimana aku tak sadar akan keberadaanmu yang sesaat..
Tak sadar akan
berlarinya sang waktu yang begitu kencang memakan usia..
Tak sadar bahwa
kita akan dipisahkan sesaat setelah dipertemukan..
Saat itu, aku
mungkin hanya bisa membuatmu marah..
Hanya bisa
membuatmu sedih..
Hanya bisa
membuatmu pusing dengan tingkahku..
Namun sekarang,
aku sadar..
Aku memiliki
banyak waktu denganmu..
Disaat aku telah
dewasa,
Sadar, mengerti
keadaan, dan belum terganggu oleh ragam kesibukan..
Disinilah saatnya
aku selalu berada disisimu,
Dengan tulus,
membantu, memanjakan dan menghabiskan waktu denganmu..
Yang tak semua
orang bisa lakukan,
Yang tak semua
orang bisa sadari,
Yang tak semua
orang bisa dapatkan…
Saat ini aku
berharap,
Semoga aku adalah
anak yang paling beruntung,
Dapat menghabiskan
waktu bersamamu, orangtuaku..
Menikmati setiap
detik kehidupan..
Tanpa dihalangi
kesibukan yang datang tak menentu..
Dan,
Ketika aku akan
beranjak, kembali tersirat dalam benakku..
Andai aku sudah
tak disisimu lagi,
Akankah ada yang
selalu siaga membantu ketika perlengkapan dapur tak cukup memadai untuk sajikan
makanan disiang hari?
Akankah ada yang
siap siaga dengan sigap membantu ketika kebutuhan rumah ada yang belum
terpenuhi?
Adakah yang sigap
melangkah membeli segelintir cemilan saat senja hari datang dan anggota
keluarga berkumpul digubuk kecil?
Adakah yang selalu
ada memijatmu ketika lelah datang dan kepala mulai terasa nyeri kembali?
Adakah yang selalu
dengan senyum manis mendengarkan keluh kesah gemericik kejamnya realita
kehidupan yang selalu bernada dari bibirmu?
Lalu, siapa nanti
yang membelikan barang-barang diwarung kecilmu saat stoknya mulai habis?
Mengantarkan
adik-adikku ketika akan beranjak mengenyam pendidikan?
Sekedar berceloteh
membuat bibirmu yang tertekuk kebawah menjadi telihat manis dengan gigi kuning
langsatmu?
Akankah ada yang
selalu membuatmu marah dan jengkel dengan gelak tawa dan kalimat-kalimat yang
sumbang?
Apakah itu semua
bisa digantikan dengan uang?
Apakah uang bisa
menjadi tempatmu bersandar?
Mungkin uang bisa
mengeluarkan suara barangkali?
Mungkin, meskipun
hektaran lahan luas terisi penuh rupiah dengan nominal tak hingga, engaku masih
tetap kesepian..
Ditinggalkan suara
sumbang yang mulai beranjak pergi dan hilang..
Dan, sekarang..
Andai aku tak
disisimu,
Akankah ada aku
yang lain, yang mau menggantikan?
Atau tangan, kaki,
mata, fikiran, dan bibir yang lain yang sepadan?
Atau bahkan jauh
lebih baik???
Andai aku tak
disisimu. . . lagi……………………………………
Akankah …………………………………………………………………………
2 komentar:
Siip.. (y) kisah simpel namun mengandung makna yg dalam..
makasih,, :)
Posting Komentar